Nako Satu, 3 Juli 2011
Suasana khitanan seperti ini...
Mengingatkan saya akan suatu cerita dimalam itu.
Dimana ada seorang ayah yang kondisi fisiknya belum sembuh betul setelah menjalani operasi atas penyakit beliau dan seorang ibu yang mungkin seharian kecapekan memeras keringat untuk membiayai hidup keluarganya.
Iya.. dimalam itu, mereka menemani putranya jauh dari desa menuju kota untuk mengkhitankan putranya tersebut disebuah klinik di kota itu. Diumur yang masih belum bisa dikatakan dewasa, mungkin sang putra belum bisa memahami sepenuhnya atas perjuangan kedua orangtuanya tersebut. Sang ayah yang menahan sakit dan sang ibu yang menyimpan rapat-rapat semua bentuk lekukan rasa capek di muka beliau. Yang tersisa hanya senyuman bahagia dari keduanya kepada sang putra. Sungguh itulah pancaran surga yang ada di dunia. Efek pasca operasi yang membuat rambut sang ayah berguguran membuat kepala beliau menjadi botak, sungguh lebih dari rupawan, kepala botak ditambah wajah jenaka membuat hampir tiada sedikitpun terlihat guratan menahan rasa sakit diwajah beliau.
Singkat cerita, khitan pun dilaksanakan. Ditemani oleh ayah dan ibu. Tak lama menemani, sang ayah keluar dari ruang khitan. Tidak ada yang tahu kemana, pun sang ibu. Tinggal sang ibu menggenggam erat tangan sang putra, mengalirkan kekuatan kepada putranya.
Khitan selesai.
Sang putra keluar bersama ibunya dari ruang khitan, diluar ternyata sang ayah telah menunggu dan menyambut dengan menyodorkan sesuatu kepada putranya. Kresek hitam. Dibukalah oleh sang putra, langsung saja pekik bahagia terlontar dari sang putra. Sebuah "Controller Nitendo" yang begitu diinginkan sang putra. Hanya sebuah perangkat untuk menjalankan Nitendo. Tak terpikirkan oleh sang putra darimana ayah membeli perangkat itu. Sang ibu meneteskan airmata, pun itu tak cukup menyadarkan sang putra bagaimana ayah bisa mendapatkan perangkat itu. Sang putra tenggelam dalam kebahagiaan pasca khitan dan mendapat bingkisan itu. Saat itu hanya ayah dan ibu yang tahu. Jarak antara apotik pati dan perempatan bleber. Ayah belum mampu untuk berkendara, angkot pun malam itu tak mereka jumpai.
Seperti itulah sang ayah, berbeda dengan sang ibu yang senantisa melantunkan kasih sayangnya. Tak pernah terucap sedikitpun kata sayang dari ayah. Kenapa?
Setiap gerakannya adalah bentuk kasih sayang yang nyata.
Barulah setelah beliau 'sembuh dan bahagia disana', barulah setelah sekian lama, barulah sang putra menyadari.
Nikmatnya berjalan dari apotik pati ke perempatan bleber X(
Nikmatnya kasih sayang ayah...
***
Robbighfirli Waliwalidaya Warkhamhuma kamaa Robbayani Soghiro
-botjah-